
Jangan salah paham, blog ini masih fokus dengan pembahasan seputar dunia keuangan dan investasi. Saat ini saya belum berniat banting setir ke industri obat tradisional
. Judul ini terinspirasi dari kutipan wawancara dengan Bank Indonesia beberapa waktu yang lalu.
Dalam penjelasan terkait pengumuman kenaikan BI Rate dan relaksasi moneter yang lalu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengibaratkan bank sentral memberi jamu pahit dan jamu manis dalam menjaga stabilitas dan meningkatkan pertumbuhan. (Referensi : Perry Warjiyo: ‘Jamu Pahit’ BI Akan Terasa 9 Bulan Lagi)
Kenaikan BI Rate diibaratkan sebagai “Jamu Pahit”. Sebab secara teori ekonomi, kenaikan suku bunga BI Rate akan diikuti dengan penyesuaian suku bunga deposito dan suku bunga kredit di perbankan walaupun tidak serta merta. Kenaikan suku bunga kredit akan menyebabkan biaya pinjaman meningkat sehingga dikhawatirkan memperlambat pertumbuhan.
Namun dari sudut pandang finansial, kenaikan BI Rate akan membuat daya tarik surat utang Indonesia menjadi semakin menarik sehingga investor asing membeli atau minimal berhenti keluar dari Indonesia. Hal ini diharapkan akan membuat nilai tukar Rp bisa menguat terhadap USD.
Sementara relaksasi yang diibaratkan sebagai “Jamu Manis” adalah kebijakan tentang :
- Pemberian kewenangan kepada Bank yang memenuhi syarat untuk menentukan besaran DP untuk rumah pertama dari sebelumnya minimal 10-15%
- Menyesuaikan pengaturan tahapan dan besaran pencairan kredit/ pembiayaan properti inden, dimana sebelumnya rumah / hunian mesti sudah dibangun pondasi dulu baru 40% dari pinjaman dicairkan dari pihak bank ke developer menjadi sudah dicairkan 30% pada saat akad kredit
Dengan DP yang lebih rendah, tentu berpotensi meningkatkan jumlah pembeli rumah. Walaupun dalam pendapat saya pribadi, selama ini kebijakan DP rendah atau bahkan 0 sebenarnya sudah diterapkan oleh berupa cicilan DP ke developer. Yang lebih mengena adalah percepatan pencairan ke pihak developer.
Berdasarkan aturan yang lama, apabila pembeli menggunakan pilihan KPR, maka developer baru mendapat 40% pada saat pondasi selesai. Artinya sebelum pondasi selesai, developer harus memutar otak untuk membiayai pembangunan rumah. Bagi developer yang tidak memiliki modal yang cukup atau nilai penjualannya tidak mencapai target, bisa jadi properti yang dijanjikan gagal terbangun.
Dengan adanya percepatan dimana developer sudah mendapat 30% pada saat akad kredit disetujui, maka kebutuhan akan pembiayaan akan lebih ringan sehingga proyek bisa langsung dijalankan. Tentu, kemampuan developer dalam membangun sesuai rencana, mencapai target penjualan dan mengelola keuangan juga penting.
Sektor properti merupakan sektor yang banyak turunannya. Mulai dari bahan baku seperti semen, baja, cat, dan kaca; penyerapan pekerja dan tukang serta konsumsinya selama pembangunan; mebel dan desain interior; agen properti; kredit perbankan dan sebagainya.
Sektor properti yang tumbuh secara sehat dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Yang dimaksud dengan sehat adalah properti berkembang, namun harganya tidak terlalu tinggi sehingga masih terjangkau oleh masyarakat.
Bagaimana efek dari kebijakan ini terhadap investasi saham dan obligasi ? Mengapa setelah kebijakan ini dilakukan nilai tukar Rp masih bergerak “liar” ? Analisis saya adalah sebagai berikut : Read more…
Like this:
Like Loading...
Recent Comment